Rabu, 06 April 2011

JENIS-JENIS CAIRAN INFUS

ASERING
Indikasi:
Dehidrasi (syok hipovolemik dan asidosis) pada kondisi: gastroenteritis akut, demam berdarah dengue (DHF), luka bakar, syok hemoragik, dehidrasi berat, trauma.
Komposisi:
Setiap liter asering mengandung:

Na 130 mEq

K 4 mEq

Cl 109 mEq

Ca 3 mEq

Asetat (garam) 28 mEq


Keunggulan:

Asetat dimetabolisme di otot, dan masih dapat ditolelir pada pasien yang mengalami gangguan hati

Pada pemberian sebelum operasi sesar, RA mengatasi asidosis laktat lebih baik dibanding RL pada neonatus

Pada kasus bedah, asetat dapat mempertahankan suhu tubuh sentral pada anestesi dengan isofluran

Mempunyai efek vasodilator

Pada kasus stroke akut, penambahan MgSO4 20 % sebanyak 10 ml pada 1000 ml RA, dapat meningkatkan tonisitas larutan infus sehingga memperkecil risiko memperburuk edema serebral



KA-EN 1B
Indikasi:

Sebagai larutan awal bila status elektrolit pasien belum diketahui, misal pada kasus emergensi (dehidrasi karena asupan oral tidak memadai, demam)

< 24 jam pasca operasi

Dosis lazim 500-1000 ml untuk sekali pemberian secara IV. Kecepatan sebaiknya 300-500 ml/jam (dewasa) dan 50-100 ml/jam pada anak-anak

Bayi prematur atau bayi baru lahir, sebaiknya tidak diberikan lebih dari 100 ml/jam


KA-EN 3A & KA-EN 3B
Indikasi:

Larutan rumatan nasional untuk memenuhi kebutuhan harian air dan elektrolit dengan kandungan kalium cukup untuk mengganti ekskresi harian, pada keadaan asupan oral terbatas

Rumatan untuk kasus pasca operasi (> 24-48 jam)

Mensuplai kalium sebesar 10 mEq/L untuk KA-EN 3A

Mensuplai kalium sebesar 20 mEq/L untuk KA-EN 3B


KA-EN MG3
Indikasi :

Larutan rumatan nasional untuk memenuhi kebutuhan harian air dan elektrolit dengan kandungan kalium cukup untuk mengganti ekskresi harian, pada keadaan asupan oral terbatas

Rumatan untuk kasus pasca operasi (> 24-48 jam)

Mensuplai kalium 20 mEq/L

Rumatan untuk kasus dimana suplemen NPC dibutuhkan 400 kcal/L


KA-EN 4A
Indikasi :

Merupakan larutan infus rumatan untuk bayi dan anak

Tanpa kandungan kalium, sehingga dapat diberikan pada pasien dengan berbagai kadar konsentrasi kalium serum normal

Tepat digunakan untuk dehidrasi hipertonik


Komposisi (per 1000 ml):

Na 30 mEq/L

K 0 mEq/L

Cl 20 mEq/L

Laktat 10 mEq/L

Glukosa 40 gr/L


KA-EN 4B
Indikasi:

Merupakan larutan infus rumatan untuk bayi dan anak usia kurang 3 tahun

Mensuplai 8 mEq/L kalium pada pasien sehingga meminimalkan risiko hipokalemia

Tepat digunakan untuk dehidrasi hipertonik


Komposisi:

Na 30 mEq/L

K 8 mEq/L

Cl 28 mEq/L

Laktat 10 mEq/L

Glukosa 37,5 gr/L


Otsu-NS
Indikasi:

Untuk resusitasi

Kehilangan Na > Cl, misal diare

Sindrom yang berkaitan dengan kehilangan natrium (asidosis diabetikum, insufisiensi adrenokortikal, luka bakar)


Otsu-RL
Indikasi:

Resusitasi

Suplai ion bikarbonat

Asidosis metabolik


MARTOS-10
Indikasi:

Suplai air dan karbohidrat secara parenteral pada penderita diabetik

Keadaan kritis lain yang membutuhkan nutrisi eksogen seperti tumor, infeksi berat, stres berat dan defisiensi protein

Dosis: 0,3 gr/kg BB/jam

Mengandung 400 kcal/L


AMIPAREN
Indikasi:

Stres metabolik berat

Luka bakar

Infeksi berat

Kwasiokor

Pasca operasi

Total Parenteral Nutrition

Dosis dewasa 100 ml selama 60 menit


AMINOVEL-600
Indikasi:

Nutrisi tambahan pada gangguan saluran GI

Penderita GI yang dipuasakan

Kebutuhan metabolik yang meningkat (misal luka bakar, trauma dan pasca operasi)

Stres metabolik sedang

Dosis dewasa 500 ml selama 4-6 jam (20-30 tpm)


PAN-AMIN G
Indikasi:

Suplai asam amino pada hiponatremia dan stres metabolik ringan

Nitrisi dini pasca operasi

Tifoid

Senin, 04 April 2011

PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK SISTEM IMUN DAN HEMATOLOGI


BAB II
PEMBAHASAN
PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
A.PENGERTIAN
Pemeriksaan diagnostic adalah penilaian klinis tentang respon individu,keluarga,dan komunikan terhadap suatu masalah kesehatan dan proses kehidupan actual maupun potensial.

A. PERSIAPAN PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
Hasil suatu pemeriksaan laboratorium sangat penting dalam membantu diagnosa, memantau perjalanan penyakit serta menentukan prognosa. Karena itu perlu diketahui faktor yang mempengaruhi hasil pemeriksaan laboratorium.

Terdapat 3 faktor utama yang dapat mengakibatkan kesalahan hasil laboratorium yaitu :
1. Pra instrumentasi

Pada tahap ini sangat penting diperlukan kerjasama antara petugas, pasien dan dokter. Hal ini karena tanpa kerja sama yang baik akan mengganggu/mempengaruhi hasil pemeriksaan laboratorium. Yang termasuk dalam tahapan pra instrumentasi meliputi :

 a. Pemahaman instruksi dan pengisian formulir

Pada tahap ini perlu diperhatikan benar apa yang diperintahkan oleh dokter dan dipindahkan ke dalam formulir. Hal ini penting untuk menghindari pengulangan pemeriksaan yang tidak penting, membantu persiapan pasien sehingga tidak merugikan pasien dan menyakiti pasien. Pengisian formulir dilakukan secara lengkap meliputi identitas pasien : nama, alamat/ruangan, umur, jenis kelamin, data klinis/diagnosa, dokter pengirim, tanggal dan kalau diperlukan pengobatan yang sedang diberikan. Hal ini penting untuk menghindari tertukarnya hasil ataupun dapat membantu intepretasi hasil terutama pada pasien yang mendapat pengobatan khusus dan jangka panjang.


b. Persiapan penderita
    1) Puasa
Dua jam setelah makan sebanyak kira2 800 kalori akan mengakibatkan peningkatan volume plasma, sebaliknya setelah berolahraga volume plasma akan berkurang. Perubahan volume plasma akan mengakibatkan perubahan susunan kandungan bahan dalam plasma dan jumlah sel darah.

2) Obat

Penggunaan obat dapat mempengaruhi hasil pemeriksaan hematologi misalnya : asam folat, Fe, vitamin B12 dll. Pada pemberian kortikosteroid akan menurunkan jumlah eosinofil, sedang adrenalin akan meningkatkan jumlah leukosit dan trombosit. Pemberian transfusi darah akan mempengaruhi komposisi darah sehingga menyulitkan pembacaan morfologi sediaan apus darah tepi maupun penilaian hemostasis. Antikoagulan oral atau heparin mempengaruhi hasil pemeriksaan hemostasis.

3) Waktu pengambilan

Umumnya bahan pemeriksaan laboratorium diambil pada pagi hari tertutama pada pasien rawat inap. Kadar beberapa zat terlarut dalam urin akan menjadi lebih pekat pada pagi hari sehingga lebih mudah diperiksa bila kadarnya rendah. Kecuali ada instruksi dan indikasi khusus atas perintah dokter. Selain itu juga ada pemeriksaan yang tidak melihat waktu berhubung dengan tingkat kegawatan pasien dan memerlukan penanganan segera disebut pemeriksaan sito. Beberapa parameter hematologi seperti jumlah eosinofil dan kadar besi serum menunjukkan variasi diurnal, hasil yang dapat dipengaruhi oleh waktu pengambilan. Kadar besi serum lebih tinggi pada pagi hari dan lebih rendah pada sore hari dengan selisih 40-100 ug/dl. Jumlah eosinofil akan lebih tinggi antara jam 10 pagi sampai malam hari dan lebih rendah dari tengah malam sampai pagi.

4) Posisi pengambilan

Posisi berbaring kemudian berdiri mengurangi volume plasma 10% demikian pula sebaliknya. Hal lain yang penting pada persiapan penderita adalah menenangkan dan memberitahu apa yang akan dikerjakan sebagai sopan santun atau etika sehingga membuat penderita atau keluarganya tidak merasa asing atau menjadi obyek.

a) Persiapan alat

Dalam mempersiapkan alat yang akan digunakan selalu diperhatikan instruksi dokter sehingga tidak salah persiapan dan berkesan profesional dalam bekerja.

b) Pengambilan darah

Yang harus dipersiapkan antara lain : - kapas alkohol 70 %, karet pembendung (torniket) semprit sekali pakai umumnya 2.5 ml atau 5 ml, penampung kering bertutup dan berlabel. Penampung dapat tanpa anti koagulan atau mengandung anti koagulan tergantung pemeriksaan yang diminta oleh dokter. Kadang-kadang diperlukan pula tabung kapiler polos atau mengandung antikoagulan.


c) Penampungan urin

Digunakan botol penampung urin yang bermulut lebar, berlabel, kering, bersih, bertutup rapat dapat steril (untuk biakan) atau tidak steril. Untuk urin kumpulan dipakai botol besar kira-kira 2 liter dengan memakai pengawet urin.

d) Penampung khusus

Biasanya diperlukan pada pemeriksaan mikrobiologi atau pemeriksaan khusus yang lain. Yang penting diingat adalah label harus ditulis lengkap identitas penderita seperti pada formulir termasuk jenis pemeriksaan sehingga tidak tertukar.

c. Cara pengambilan sampel

Pada tahap ini perhatikan ulang apa yang harus dikerjakan, lakukan pendekatan dengan pasien atau keluarganya sebagai etika dan sopan santun, beritahukan apa yang akan dikerjakan. Selalu tanyakan identitas pasien sebelum bekerja sehingga tidak tertukar pasien yang akan diambil bahan dengan pasien lain. Karena kepanikan pasien akan mempersulit pengambilan darah karena vena akan konstriksi.

Darah dapat diambil dari vena, arteri atau kapiler. Syarat mutlak lokasi pengambilan darah adalah tidak ada kelainan kulit di daerah tersebut, tidak pucat dan tidak sianosis. Lokasi pengambilan darah vena : umumnya di daerah fossa cubiti yaitu vena cubiti atau di daerah dekat pergelangan tangan. Selain itu salah satu yang harus diperhatikan adalah vena yang dipilih tidak di daerah infus yang terpasang/sepihak harus kontra lateral. Darah arteri dilakukan di daerah lipat paha (arteri femoralis) atau daerah pergelangan tangan (arteri radialis). Untuk kapiler umumnya diambil pada ujung jari tangan yaitu telunjuk, jari tengah atau jari manis dan anak daun telinga. Khusus pada bayi dapat diambil pada ibu jari kaki atau sisi lateral tumit kaki.

d. Penanganan awal sampel dan transportasi

Pada tahap ini sangat penting diperhatikan karena sering terjadi sumber kesalahan ada disini. Yang harus dilakukan :

1) Catat dalam buku expedisi dan cocokan sampel dengan label dan formulir. Kalau sistemnya memungkinkan dapat dilihat apakah sudah terhitung biayanya (lunas)

2) Jangan lupa melakukan homogenisasi pada bahan yang mengandung antikoagulan

3) Segera tutup penampung yang ada sehingga tidak tumpah

4) Segera dikirim ke laboratorium karena tidak baik melakukan penundaan

5) Perhatikan persyaratan khusus untuk bahan tertentu seperti darah arteri untuk analisa gas darah, harus menggunakan suhu 4-8° C dalam air es bukan es batu sehingga tidak terjadi hemolisis. Harus segera sampai ke laboratorium dalam waktu sekitar 15-30 menit.

Perubahan akibat tertundanya pengiriman sampel sangat mempengaruhi hasil laboratorium. Sebagai contoh penundaan pengiriman darah akan mengakibatkan penurunan kadar glukosa, peningkatan kadar kalium. Hal ini dapat mengakibatkan salah pengobatan pasien. Pada urin yang ditunda akan terjadi pembusukan akibat bakteri yang berkembang biak serta penguapan bahan terlarut misalnya keton. Selain itu nilai pemeriksaan hematologi juga berubah sesuai dengan waktu
B. PERSIAPAN DAN PENGAMBILAN SPESIMEN
1) Pemeriksaan Darah
    a. Tempat pengambilan darah untuk berbagai macam pemeriksaan laboratorium.
       1) Perifer (pembuluh darah tepi)
       2) Vena
       3) Arteri
       4) Pada orang dewasa diambil pada ujung jari atau daun telinga bagian bawah
       5) Pada bayi dan anak kecil dapat diambil pada ibu jari kaki atau tumit

b. Bentuk pemeriksaan
    1) Jenis/golongan darah
    2) HB
    3) Gula darah
    4) Malaria
    5) Filaria dll

c. Persiapan alat
   1) Lanset darah atau jarum khusus
   2) Kapas alkohol
   3) Kapas kering
   4) Alat pengukur Hb/kaca objek/botol pemeriksaan, tergantung macam pemeriksaan
   5) Bengkok
   6) Hand scoon
   7) Perlak dan pengalas

d. Prosedur kerja

    1) Mendekatkan alat
    2) Memberitahu klien dan menyampaikan tujuan serta langkah prosedur
    3) Memasang perlak dan pengalas
    4) Memakai hand scoon
    5) Mempersiapkan bagian yang akan ditusuk, tergantung jenis pemeriksaan
    6) Kulit dihapushamakan dengan kapas alkohol
    7) Bekas tusukan ditekan dengan kapas alkohol
    8) Merapikan alat
    9) Melepaskan hand scoon

2) Pemeriksaan Urine
    a. Kegunaan
        1) Menafsirkan proses-proses metabolisme
        2) Mengetahui kadar gula pada tiap-tiap waktu makan (pada pasien DM)

    b. Jenis pemeriksaan
        1) Urine sewaktu
            Urine yang dikeluarkan sewaktu-waktu bilamana diperlukan pemeriksaan.
        2) Urine pagi
            Urine yang pertama dikeluarkan sewaktu pasien bangun tidur.
        3) Urine pasca prandial
            Urine yang pertama kali dikeluarkan setelah pasien makan (1,5-3 jam sesudah  makan)
        4) Urine 24 jam
            Urine yang dikumpulkan dalam waktu 24 jam.

    c. Persiapan alat
       1) Formulir khusus untuk pemeriksaan urine
       2) Wadah urine dengan tutupnya
       3) Hand scoon
       4) Kertas etiket
       5) Bengkok
       6) Buku ekspedisi untuk pemeriksaan laboratorium

    d. Prosedur tindakan
        1) Mencuci tangan
        2) Mengisi formulir
        3) Memberi etiket pada wadah
        4) Memakai hand scoon
        5) Menuangkan 100 cc urine dari bengkok ke dalam wadah kemudian ditutup rapat.
        6) Menyesuaikan data formulir dengan data pada etiket
        7) Menuliskan data dari formulir ke dalam buku ekspedisi
        8) Meletakkan wadah ke dalam bengkok atau tempat khusus bertutup.
        9) Membereskan dan merapikan alat
        10) Melepas hand scoon
       11) Mencuci tangan

3) Pemeriksaan Faeces

   a. Pengertian

       Menyiapkan feses untuk pemeriksaan laboratorium dengan cara pengambilan yang tertentu.

  b. Tujuan
       Untuk menegakkan diagnosa

  c. Pemeriksaan tinja untuk pasien dewasa
      Untuk pemeriksaan lengkap meliputi warna, bau, konsistensi, lendir, darah, dan telur cacing. Tinja yang diambil adalah tinja segar.

 d. Persiapan alat
       1) Hand scoon bersih
       2) Vasseline
       3) Botol bersih dengan penutup
       4) Lidi dengan kapas lembab dalam tempatnya
       5) Bengkok
       6) Perlak pengalas
       7) Tissue
       8) Tempat bahan pemeriksaan
       9) Sampiran
 
   e. Prosedur tindakan
      1) Mendekatkan alat
      2) Memberitahu pasien
      3) Mencuci tangan
      4) Memasang perlak pengalas dan sampiran
      5) Melepas pakaian bawah pasien
      6) Mengatur posisi dorsal recumbent
      7) Memakan hand scoon
      8) Telunjuk diberi vaselin lalu dimasukkan ke dalam anus dengan arah keatas  kemudian diputar kekiri dan kekanan sampai teraba tinja
     9) Setelah dapat , dikeluarkan perlahan – lahan lalu dimasukkan ke dalam tempatnya.
    10) Anus dibersihkan dengan kapas lembab dan keringkan dengan tissue.
    11) Melepas hand scoon
    12) Merapikan pasien
    13) Mencuci tangan

            Untuk pemeriksaan kultur (pembiakan) pengambilan tinja dengan cara steril. Caranya sama dengan cara thoucer, tetapi alat-alat yang digunakan dalam keadaan steril.

4) Pengambilan sputum
    a. Pengertian
        Sputum atau dahak adalah bahan yang keluar dari bronchi atau trakhea, bukan ludah atau lendir yang keluar dari mulut, hidung atau tenggorokan.
    b. Tujuan
        Untuk mengetahui basil tahan asam dan mikroorganisme yang ada dalam tubuh pasien sehingga diagnosa dapat ditegakkan.
    c. Indikasi
        Pasien yang mengalami infeksi/peradangan saluran pernafasan (apabila diperlukan).
    d. Persiapan alat
        1) Sputum pot (tempat ludah) yang bertutup
        2) Botol bersih dengan penutup
        3) Hand scoon
        4) Formulir dan etiket
        5) Perlak pengalas
        6) Bengkok
        7) Tissue
     e. Prosedur tindakan
        1) Menyiapkan alat
        2) Memberitahu pasien
        3) Mencuci tangan
        4) Mengatur posisi duduk
        5) Memasang perlak pengalas dibawah dagu dan menyiapkan bengkok.
        6) Memakai hand scoon
        7) Meminta pasien membatukkan dahaknya ke dalam tempat yang sudah disiapkan  
            (sputum pot)
        8) Mengambil 5cc bahan, lalu masukkan ke dalam botol
        9) Membersihkan mulut pasien
       10) Merapikan pasien dan alat
       11) Melepas hand scoon
       12) Mencuci tangan

5) Pengambilan spesimen cairan vagina/hapusan genetalia
    a. Persiapan alat
       1) Kapas lidi steril
       2) Objek gelas
       3) Bengkok
       4) Sarung tangan
       5) Spekulum
       6) Kain kassa, kapas sublimat
       7) BengkoK
       8) Perlak

    a. Prosedur
        1) Memberitahu dan memberi penjelasan pada klien tentang tindakan yang akan   
            dilakukan
        2) Mendekatkan alat
        3) Memasang sampiran
        4) Membuka dan menganjurkan klien untuk menanggalkan pakaian bagian bawah
            (jaga privacy pasien)
       5) Memasang pengalas dibawah bokong pasien
       6) Mengatur posisi pasien dengan kaki ditekuk (dorsal recumbent)
       7) Mencuci tangan
       8) Memakai sarung tangan
       9) Membuka labia mayora dengan ibu jari dan jari telunjuk tangan yang tidak
           dominan
     10) Mengambil sekret vagina dengan kapas lidi dengan tangan yang dominan sesuai
            kebutuhan
     11) Menghapus sekret vagina pada objek gelas yang disediakan
     12) Membuang kapas lidi pada bengkok
     13) Memasukkan objek gelas ke dalam piring petri atau ke dalam tabung kimia dan
           ditutup
     14) Memberi label dan mengisi formulir pengiriman spesimen untuk dikirim ke
           laboratorium
     15) Membereskan alat
     16) Melepas sarung tangan
     17) Mencuci tangan
     18) Melakukan dokumentasi tindakan

C. PERSIAPAN UNTUK PEMERIKSAAN
1. Pemeriksaan USG

Perkembangan Ultrasonografi (USG) sudah dimulai sejak kira-kira tahun 1960, dirintis oleh Profesor Ian Donald. Sejak itu, sejalan dengan kemajuan teknologi bidang komputer, maka perkembangan ultrasonografi juga maju dengan sangat pesat, sehingga saat ini sudah dihasilkan USG 3 Dimensi dan Live 3D (ada yang menyebut sebagai USG 4D).

a.Indikasi

1)
.  Dalam bidang obstetri, indikasi yang dianut adalah melakukan pemeriksaan USG   dilakukan begitu diketahui hamil, penapisan USG pada trimester pertama (kehamilan 10 – 14 minggu), penapisan USG pada kehamilan trimester kedua (18 – 20 minggu), dan pemeriksaan tambahan yang diperlukan untuk memantau tumbuh kembang janin.

2)
. Dalam bidang ginekologi onkologi pemeriksaannya diindikasikan bila ditemukan kelainan secara fisik atau dicurigai ada kelainan tetapi pada pemeriksaan fisik tidak jelas adanya kelainan tersebut.

3
). Dalam bidang endokrinologi reproduksi pemeriksaan USG diperlukan untuk mencari kausa gangguan hormon, pemantauan folikel dan terapi infertilitas, dan pemeriksaan pada pasien dengan gangguan haid.

4)
. Sedangkan indikasi non obstetrik bila kelainan yang dicurigai berasal dari disiplin ilmu lain, misalnya dari bagian pediatri, rujukan pasien dengan kecurigaan metastasis dari organ ginekologi dll.

b. Cara Pemeriksaan
Pemeriksaan USG dapat dilakukan dengan dua cara yaitu:
1) Pervaginam
    a) Memasukkan probe USG transvaginal/seperti melakukan pemeriksaan dalam.
    b) Dilakukan pada kehamilan di bawah 8 minggu.
    c) Lebih mudah dan ibu tidak perlu menahan kencing.
    d) Lebih jelas karena bisa lebih dekat pada rahim.
    e) Daya tembusnya 8-10 cm dengan resolusi tinggi.
    f) Tidak menyebabkan keguguran.
2) Perabdominan
   a) Probe USG di atas perut.
   b) Biasa dilakukan pada kehamilan lebih dari 12 minggu.
   c) Karena dari atas perut maka daya tembusnya akan melewati otot perut, lemak baru     menembus rahim.

c. Jenis Pemeriksaan USG

1) USG 2 Dimensi

Menampilkan gambar dua bidang (memanjang dan melintang). Kualitas gambar yang baik sebagian besar keadaan janin dapat ditampilkan.

2)
. USG 3 Dimensi
 
Dengan alat USG ini maka ada tambahan 1 bidang gambar lagi yang disebut koronal. Gambar yang tampil mirip seperti aslinya. Permukaan suatu benda (dalam hal ini tubuh janin) dapat dilihat dengan jelas. Begitupun keadaan janin dari posisi yang berbeda. Ini dimungkinkan karena gambarnya dapat diputar (bukan janinnya yang diputar).

3)
. USG 4 Dimensi

Sebetulnya USG 4 Dimensi ini hanya istilah untuk USG 3 dimensi yang dapat bergerak (live 3D). Kalau gambar yang diambil dari USG 3 Dimensi statis, sementara pada USG 4 Dimensi, gambar janinnya dapat “bergerak”. Jadi pasien dapat melihat lebih jelas dan membayangkan keadaan janin di dalam rahim.

4)
.USG Doppler

Pemeriksaan USG yang mengutamakan pengukuran aliran darah terutama aliran tali pusat. Alat ini digunakan untuk menilai keadaan/kesejahteraan janin. Penilaian kesejahteraan janin ini meliputi: Gerak napas janin (minimal 2x/10 menit), Tonus (gerak janin), Indeks cairan ketuban (normalnya 10-20 cm), Doppler arteri umbilikalis, Reaktivitas denyut jantung janin.

2. Pemeriksaan Rontgen

Teknologi rontgen sudah digunakan lebih dari satu abad yang lalu. Tepatnya sejak 8 November 1890 ketika fisikawan terkemuka berkebangsaan Jerman, Conrad Roentgen, menemukan sinar yang tidak dikenalinya, yang kemudian diberi label sinar X. Sinar ini mampu menembus bagian tubuh manusia, sehingga dapat dimanfaatkan untuk memotret bagian-bagian dalam tubuh. Berkat jasanya bagi dunia kedokteran, banyak nyawa bisa diselamatkan, hingga ia mendapat penghargaan Nobel di tahun 1901.
Pada prinsipnya sinar yang menembus tubuh ini perlu dipindahkan ke format film agar bisa dilihat hasilnya. Seiring dengan kemajuan teknologi, kini foto rontgen juga sudah bisa diproses secara digital tanpa film. Sementara hasilnya bisa disimpan dalam bentuk CD atau bahkan dikirim ke berbagai belahan dunia menggunakan teknologi e-mail.

a.Persiapan
pemeriksaan

 1)Radiografi konvensional tanpa persiapan.
         Maksudnya, saat anak datang bisa langsung difoto. Biasanya ini untuk pemeriksaan                                    tulang atau toraks.

2) Radiografi konvensional dengan persiapan.
Pemeriksaan radiografi konvensional yang memerlukan persiapan di antaranya untuk foto rontgen perut. Sebelum pelaksanaan, anak diminta untuk puasa beberapa jam atau hanya makan bubur kecap. Dengan begitu ususnya bersih dan hasil fotonya pun dapat dengan jelas memperlihatkan kelainan yang dideritanya.

3) Pemeriksaan dengan kontras
Sebelum dirontgen, kontras dimasukkan ke dalam tubuh dengan cara diminum, atau dimasukkan lewat anus, atau disuntikkan ke pembuluh vena.

b. Indikasi pemeriksaan

1) Sesak napas pada bayi.
Untuk memastikan ada tidaknya kelainan di toraksnya (rongga dada), dokter membutuhkan foto rontgen agar penanganannya tepat.

2) Bayi muntah hijau terus-menerus.
Bila dokter mencurigai muntahnya disebabkan sumbatan di saluran cerna, maka pengambilan foto rontgen pun akan dilakukan. Pertimbangan dokter untuk melakukan tindakan ini tidak semata-mata berdasarkan usia, melainkan lebih pada risk and benefit alias risiko dan manfaatnya.

3) Deteksi masalah pada tulang, paru-paru, usus, dan organ dalam lainnya.
     Bagi balita sampai kalangan dewasa, foto rontgen lazimnya dimanfaatkan untuk mendeteksi masalah pada tulang, paru-paru, usus, dan organ dalam lainnya.


3. Kardiotokografi (CTG).

    a. Pengertian
       1) Secara khusus
           CTG adalah suatu alat yang digunakan untuk mengukur DJJ pada saat kontraksi maupun tidak.
 
2) Secara umum
 
CTG merupakan suatu alat untuk mengetahui kesejahteraan janin di dalam rahim, dengan merekam pola denyut jantung janin dan hubungannya dengan gerakan janin atau kontraksi rahim.

Jadi bila doppler hanya menghasilkan DJJ maka pada CTG kontraksi ibu juga terekam dan kemudian dilihat perubahan DJJ pada saat kontraksi dan diluar kontraksi. Bila terdapat perlambatan maka itu menandakan adanya gawat janin akibat fungsi plasenta yang sudah tidak baik
.
Cara pengukuran CTG hampir sama dengan doppler hanya pada CTG yang ditempelkan 2 alat yang satu untuk mendeteksi DJJ yang satu untuk mendeteksi kontraksi, alat ini ditempelkan selama kurang lebih 10-15 menit

b. Indikasi Pemeriksaan CTG
 
1) Kehamilan dengan komplikasi (darah tinggi, kencing manis, tiroid, penyakit infeksi kronis, dll)
2) Kehamilan dengan berat badan janin rendah (Intra Uterine Growth Retriction)
3) Oligohidramnion (air ketuban sedikit sekali)
4) Polihidramnion (air ketuban berlebih)

c. Pemeriksaan CTG

1) Sebaiknya dilakukan 2 jam setelah makan.
2) Waktu pemeriksaan selama 20 menit,
3) Selama pemeriksaan posisi ibu berbaring nyaman dan tak menyakitkan ibu maupun bayi.
4) Bila ditemukan kelainan maka pemantauan dilanjutkan dan dapat segera diberikan pertolongan yang sesuai.
5) Konsultasi langsung dengan dokter kandungan

Jenis-Jenis Pemeriksaan Diagnostik Yang Berhubungan Dengan SIH
a.      Pemriksaan Fisik
Ø  Inspeksi
Adalah metode observasi yang digunakan saat pemeriksaan fisik. Teknik ini mengguanakan penglihatan, penciuman dan pendengaran untuk mengetahui kondisi normal atau adanya deviasi dari bagian tubuh yang diperiksa. Metode ini adalah langkah pertama dalam pemeriksaan fisik.
Dalam pengkajian fisik, lakukan pemeriksaan dengan melihat penampilan umum. Perhatikan penampilan umum, setelah penampiilan ini lanjutkan pemeriksaan dengan pengkajian yang sistematis selanjutnya. Ketika melakukan pemeriksaan ini, pastikan bahwa penerangan dan sinar cahaya cukup untuk melakukan pemeriksaan.
Ø  Palpasi
Merupakan metode untuk ‘merasakan’ dengan tangan saat pemeriksaan fisik. Dengan pemeriksaan ini anda dapat menentukan:
q       Tekstur (kasar/halus)
q       Suhu (hangat / panas / dingin)
q       Kelembaban (kering, basah atau lembab)
q       Gerakan (diam atau tremor otot)
q       Konsistensi jaringan (padat atau berair)
A.    Pemeriksaan fisik pada system imun
1.      Pengkajian pada system imun
Penilaian fungsi imun dimulai dari hasil anamnesis riwayat kesehatan pasien dan pemeriksaan fisik. Riwayat kesehatan pasien harus mengandung informasi yang rinci mengenai factor – factor dimasa lalu serta sekarang dan berbagai kejadian yang menunjukan status system imun disamping factor – factor dan kejadian yang dapat mengetahui fungsi sistem imun. Faktor – faktor dan kejadian ini mencakup infeksi, kelainan alergi, kelainan autonium, penyakit neoplasma, keadaan sakit yang kronis, riwayat pembedahan, imunisasi, dan penggunaan obat – obatan, transfuse darah, faktor – faktor lain yang mempengaruhi fungsi imun dan hasil pemeriksaan laboratorium serta tes diagnostic lainnya. Pengkajian fisik pasien palpasi nodus limfatikus dan pemeriksaan kulit, membrane mukosa dan sistem respiratorius, gastrointestinal, urogenital, kardiovaskuler serta neurosensorik.
Pada pemeriksaan jasmani,kondisi kulit dan membrane mukosa pasien harus di nilai untuk menemukan lesi,dermatitis,purpura(pendarahan sub kutan),urtikaria,inflamasi,ataupun pengeluaran secret. Selain itu, tanda-tanda infeksi perlu di perhatikan. Suhu tubuh pasien di catat dan observasi di lakukan untuk mengamati gejala mengigil serta perspirasi.kelenjar limpe servikal anterior serta posterior,aksilaris dan ingminalis harus di palpasi untuk menemukan pembesaran;jika kelenjar limpe atau nodus limpatikus teraba, maka lokasi,ukuran,konsistensi,dan keluhan nyeri tekan saat palpasi harus di catat. Pemeriksaan sendi-sendi di lakukan untuk menilai nyeri tekan serta pembengkakan dan keterbatasan kisaran gerak. Status respiratorius pasien di evaluasi dengan memantau frekuensi pernapasan dan menilai adanya gejala batuk(kering/produktif) serta setiap suara paru yang abnormal(mengi,krepitasi,ronchi). Pasien juga di kaji untuk menemukan rhinitis,hiperventilasi dan bronkospasme.


Status kardiovaskuler
Sensitivitas Bagian Tangan
Bagian tangan yang dipakai
Hal Yang Dapat Dirasakan
Jari-jari (ujung jari)
Adanya gerakan halus jaringan atau pulsasi
Permukaan tangan
Getaran yang mungkin terjadi (i.e., thrills, fremitus)
Punggung tangan
Suhu kulit



Palpasi
Jenis
Tujuan
Teknik
Palpasi Ringan
Digunakan untuk ada tidaknya abnomalitas permukaan (contoh, tekstur, suhu, kelembaban, elastisitas, pulsasi, organ-oran superfisial, dll)
Tekan kulit ½ hingga ¾ inci dengan ujung jari
Palpasi Dalam
Digunakan untuk meraba organ dalam dan masa untuk melihat ukuran, bentuk, simetris atau mobiltasnya
Tekan kulit sedalam 1½ hingga 2 inci dengan tekanan yang mantap.
Mungkin diperlukan juga tangan lainnya untuk membantu penekanan
Palpasi Bimanual
(gunakan teknik ini dengan hati-hati karena mungkin akan merangsang nyeri atau mengganggu organ internal tubuh)

Digunakan untuk mengkaji organ dalam di rongga abdomen.
Gunakan dua tangan, satu tangan pada sisi masing-masing bagian tubuh atau organ yang diperiksa
Tangan yang di bagian atas digunakan untuk memberikan tekanan ketika tangan yang di bawah digunakan untuk memeriksa jaringan yang dalam
Gunakan satu tangan untuk menekan secara dalam dinding perut abdominal untuk menggerakkan jaringan dalam arah tangan yang lainnya, dan gunakan tangan tersebut untuk merasakan jaringan yang diperiksa
B.     Pemeriksaan Labolatorium
Untuk memastikan diagnosis harus ditunjang dengan pemeriksaan labolatorium dan pemeriksaan spesifik. Pemeriksan yang dapat dilakukan ialah :
1.      Pemeriksaan darah rutin feses dan kemih, serta kimia dara
2.      Pemeriksaan sediaan apus basah seperti pemeriksaan terhadap hiva ( dengan KOH 10% ) trikomonas ( NaCI 0,9% )
3.      Periksaan sekret/ bahan-bahan dari kulit dengan pewarnaan kusus, seperti gram ( untuk bakteri ), Ziehl Nielsen untuk hasil tahan asam, gentian violet untuk virus, microscop lapangan gelap untuk spiroketa, pemeriksaan cairan gelembung( untuk menghitung eosinofil ) dan pemriksaan sel tzanck.
4.      Pemeriksaan serologik untuk sefilis, frambusia.
5.      Pemeriksaan dengan sinar wood terhadap infeksi jamur kulit.
6.      Pemeriksaan terhadap alergi: uji gores, tetes, tempel, tusuk, dan uji suntik
7.      Pemeriksaan Lab yang berhubungan dengan hematologi adalah sebagai berikut :
Pemeriksaan Hemaglobin, Jumlah Leokosit, Eritrosit, Trombosit, Hemaorit, Retikulosit, Fibrinogen, Gol. Darah dan Rh-faktor.
8.      Pemeriksaan Lab yang berhubungan dengan imunolgi adalah sebagai berikut :
Widal, ASTO, Rheumatoid, C-Reactive Protein, Seramoeba, V.D.R.L, T.P.H.A, R.P.R, Anti-HIV, HbsAG, Anti-HbeAG, Anti-HBc totall, IgM Anti-HBc dan IgM Anti-HAV.

C.    Diagnostik pada penyakit AIDS.
Kriteria diagnostiknya mencakup penurunan berat yang tidak dikehendakiyang melampaui 10% dari berat badan dasar, diare yang kronis selama lebih 30 hari atau kelemahan yang kronis, dan demam yang kambuhan atau menetap  tanpa adanya penyakit lain yang menjelaskan gejala ini. Malnutrisi protein – energy yang terjadi bersifat multifactor pada sebagian keadaan sakit yang berkaitan dengan AIDS, pesiennya akan mengalami keadaan hipermetabolik dimana terjadi pembakaran kalori yang berlebihan dan kehilangan leanbodymass keadaan ini serupa dengan keadaan stress seperti sepsis serta trauma dan dapat menimbulkan kegagalan organ. Pembedaan anatra keadaan kakeksia ( pelisutan) adan malnutrisi atau antara kakeksia dan penurunan berat badan yang biasa terjadi sangat penting mengingat ganaguan metabolik pada sindrom pelisutan tidak dapat diubah dengan dukungan nutrisi saja.  
D.    Evaluasi  diagnostic
1.      Tes laboratorium.
Sejak ditemukannya HIV pada tahun  1983, para ilmuan telah belajar banyak tentang karakteristik dan patogenisita virus tersebut. Berdasarkan pengetahuan ini telah dikembangakan sejumlah tes diagnostik yang sebagian masih bersifat penelitian tes atau pemeriksaan laboratorium kini digunakan untuk mengdiagnostik HIV dan memantau perkembangan penyakit serta responnya terhadap terapi pada orang terinfeksi HIV.
2.      Tes antibody HIV.
Kalau seseorang terinfeksi virus HIV, system imunnya akan beraksi dengan memproduksi antibody terhadap virus. Antibody umumnya terbentuk dalam waktu 3-12 minggu setelah terkena infeksi,kendati pembentukan antibody ini dapat memerlukan waktu sampai 6-14 bulan; kenyataan ini menjelaskan mengapa seseorang dapat terinfeksi tetapi pada mulanya tidak memperlihatkan hasil test yang positif. Sayangnya, antibody untuk hiv tidak efektif dan tidak dapat menghentikan perkembangan infeksi hiv. Kemampuan untuk mendeteksi antibody hiv dalam darah telah memungkinkan pemeriksaan skring produk darah dan memudahkan evaluasi diagnostic pada pasien-pasien terinfeksi hiv. Pada 1985, food and drug administration(fda) mengeluarkan lisensi untuk uji kadar antibody hiv bagi semua pendonoran darah dan plasma. Ada 3 buah test untuk memastikan danya antibody terhadap hiv dan membantu mendiagnostik infeksi hiv.
1.      Test enzyme linket immunosorbent assay(elisa) mengidentifikasi antibody secara spesifik yang di tujukan pada virus hiv.
Pemeriksaan westernblot assay : merupakan test yg dapat mengenali antibody hiv dan digunakan untuk memastikan seropositifitas seperti yang teridentifikasi lewat prosedur elisa.
2.      Indirect immonofluorescene assay (IFA) yang saat ini sering digunakan dokter sebagai pengganti pemeriksaan western blot untuk seropositifitas.
3.      Radioimmunoprecipitation assay (RIFA) tes ini lebih mendeteksi protein HIV ketimbang antibbodi.

B. Pemeriksaan diagnostic pada system hematologi
1. Pemeriksaan Fungsi Hemostasis
Kelainan hemostasis dengan perdarahan abnormal dapat merupakan kelainan pembuluh darah, trombositopenia atau gangguan fungsi trombosit, dan kelainan koagulasi. Sejumlah pemeriksaan sederhana dapat dikerjakan untuk menilai fungsi trombosit, pembuluh darah, serta komponen koagulasi dalam hemostasis.
Pemeriksaan penyaring ini meliputi pemeriksaan darah lengkap (Complete Blood Count/CBC), evaluasi darah apus, waktu perdarahan (Bleeding Time/ BT), waktu protrombin (Prothrombin Time/PT), activated partial thromboplastin time (aPTT), dan agregasi trombosit.
CBC dan evaluasi darah apus. Pasien dengan kelainan perdarahan pertama kali harus menjalani pemeriksaan CBC dan pemeriksaan apusan darah perifer. Selain memastikan adanya trombositopenia, dari darah apus dapat menunjukkan kemungkinan penyebab yang jelas seperti misalnya leukemia.
Pemeriksaan penyaring sistem koagulasi. Meliputi penilaian jalur intrinsik dan ekstrinsik dari sistem koagulasi dan perubahan dari fibrinogen menjadi fibrin. PT (Prothrombin Time) mengukur faktor VII, X, V, protrombin, dan fibrinogen. aPTT (activated Partial Prothrombin Time) mengukur faktor VIII, IX, XI, dan XII. TT (Thrombin Time) cukup sensitif untuk menilai defisiensi fibrinogen atau hambatan terhadap trombin.
Pemeriksaan faktor koagulasi khusus. Pemeriksaan fibrinogen, faktor vW, dan faktor VIII.
Waktu perdarahan (Bleeding Time/BT). Memeriksa fungsi trombosit abrnormal misalnya pada defisiensi faktor Von Willebrand (VWf). Pada trombositopenia, waktu perdarahan juga akan memanjang, namun pada perdarahan abnormal akibat kelainan pembuluh darah, waktu perdarahan biasanya normal.
Pemeriksaan fungsi trombosit. Tes agregasi trombosit mengukur penurunan penyerapan sinar pada plasma kaya trombosit sebagai agregat trombosit.
Pemeriksaan fibrinolisis. Peningkatan aktivator plasminogen dalam sirkulasi dapat dideteksi dengan memendeknya euglobulin clot lysis time. (Suharti, 2007).

2. Idiopathic Thrombocytopenic Purpura (ITP)
ITP adalah kelainan akibat trombositopenia yang tidak diketahui penyebabnya (idiopatik), tetapi ternyata diketahui bahwa sebagian besar kelainan ini disebabkan oleh proses imun, karena itu disebut juga autoimmune thrombocytopenic purpura.
Pada ITP jumlah trombosit menurun disebabkan oleh trombosit diikat oleh antibodi, terutama IgG. Antibodi terutama ditujukan untuk reseptor GP IIb/IIIa pada trombosit. Trombosit yang diselimuti antibodi kemudian difagositir oleh makrofag dalam RES terutama lien, akibatnya terjadi trombositopenia.
Gambaran klinik ITP, yaitu
1) onset pelan dengan perdarahan melalui kulit atau mukosa berupa peteki, ekimosis, easy bruising, menorrhagia, epistaksis atau perdarahan gusi;
2) perdarahan SSP jarang, tetapi fatal; dan
3) splenomegali, terjadi pada 10% kasus.
Pada ITP kelainan laboratorium yang terjadi:
1) darah tepi: trombosit paling sering antara 10.000-50.000/mm3;
2) sumsum tulang: megakariosit meningkat, multinuklear, disertai lobulasi; dan
3) imunologi: adanya antiplatelet IgG pada permukaan trombosit atau dalam serum. Yang lebih spesifik adalah antibodi terhadap gp IIb/IIIa atau gp Ib.
Diagnosis ITP ditegakkan bila dijumpai:
1) gambaran klinik berupa perdarahan kulit atau mukosa;
2) trombositopenia;
3) sumsum tulang: megakariosit normal atau meningkat;
4) antibodi antiplatelet (IgG) positif, tetapi tidak harus demikian; dan
5) tidak ada penyebab trombositopenia sekunder (Bakta, 2006).
a. Penatalaksanaan ITP
    1. Terapi untuk mengurangi proses imun sehingga mengurangi perusakan trombosit.
a) Terapi kortikosteroid à menekan aktivitas makrofag, mengurangi pengikatan IgG oleh trombosit, dan untuk menekan sintesis antibodi.
b) Jika dalam 3 bulan tidak memberi respon pada kortikosteroid (trombosit <30×109/l) atau perlu dosis pemeliharaan yang tinggi maka diperlukan splenektomi, atau obat-obatan immunosupresif lain seperi vincristine, cyclophospamide, atau azathiprim.
2.   Terapi suportif , terapi untuk mengurangi pengaruh trombositopenia.
a) Pemberian androgen (danazol).
b) Pemberian high dose immunoglobulin untuk menekan fungsi makrofag.

b.Pemeriksaan laboratorium lanjutan.
Untuk memastikan diagnosis ITP, maka perlu pemeriksaan apusan darah tepi, pemeriksaan sumsum tulang, dan pemeriksaan imunologi.
Sebaiknya pasien diberi terapi kortikosteroid untuk mengurangi proses imun sehingga mengurangi perusakan trombosit. Apabila kortikosteroid tidak menghasilkan respon, maka dilakukan splenektomi atau pemberian obat-obat immunosupresif lain. Selain itu, juga dapat dilakukan terapi suportif untuk mengurangi pengaruh trombositopenia, seperti pemberian androgen, pemberian high dose immunoglobulin, dan transfusi konsentrat trombosit.
3. Pemeriksaan dan Diagnosis Leukemia
  • Hematologi rutin dan Hitung darah lengkap digunakan untuk mengetahui kadar Hb-eritrosit, leukosit, dan trombosit.
  • Apus darah tepi digunakan untuk mengetahui morfologi sel darah, berupa bentuk, ukuran, maupun warna sel-sel darah, yang dapat menunjukkan kelainan hematologi.
  • Aspirasi dan biopsi sumsum tulang digunakan untuk mengetahui kondisi sumsum tulang, apakah terdapat kelainan atau tidak.
  • Karyotipik digunakan untuk mengetahui keadaan kromosom dengan metode FISH (Flurosescent In Situ Hybridization).
  • Immunophenotyping mengidentifikasi jenis sel dan tingkat maturitasnya dengan antibodi yang spesifik terhadap antigen yang terdapat pada permukaan membran sel.
  • Sitokimia merupakan metode pewarnaan tertentu sehingga hasilnya lebih spesifik daripada hanya menggunakan morfologi sel blas pada apus darah tepi atau sumsum tulang.
  • Analisis sitogenetik digunakan untuk mengetahui kelainan sitogenetik tertentu, yang pada leukemia dibagi menjadi 2: kelainan yang menyebabkan hilang atau bertambahnya materi kromosom dan kelainan yang menyebabkan perubahan yang seimbang tanpa menyebabkan hilang atau bertambahnya materi kromosom.
1.  Penatalaksanaan Leukemia
Pengobatan utama untuk keganasan hematologi selama beberapa dekade adalah pembedahan, kemoterapi, dan terapi radiasi (Baldy, 2006). Saat ini, pengobatan yang lain tersedia terbatas tetapi penggunaannya meningkat, dengan kemajuan dalam uji klinis, yang dikenal sebagai Biological. Kelompok obat ini adalah zat alami yang diambil dari sumber alami atau disintesis dalam laboratorium untuk menyerang target biologi tertentu (Finley, 2000). Biological dianggap menjaga sel induk hematopoietik dan oleh karena itu kurang toksik dan bersifat kuratif (Baldy, 2006).
Kemoterapi atau Terapi Obat Sitotoksik. Obat sitotoksik merusak kapasitas sel untuk reproduksi. Tujuan terapi sitotoksik mula-mula menginduksi remisi dan selanjutnya mengurangi populasi sel leukemik yang tersembunyi, dan memulihkan sumsum tulang dengan kombinasi siklik dua, tiga atau empat obat. Pemulihan ini tergantung pada pola pertumbuhan kembali (differential regrowth pattern) sel hemopoietik normal dan sel leukemik.
Transplantasi Sumsum Tulang. Transplantasi sumsum tulang dilakukan untuk memulihkan sistem hemopoietik pasien setelah penyinaran seluruh tubuh dan kemoterapi intensif diberikan dalam usaha membunuh semua leukemmik yang tinggal (Hoffbrand and Petit, 1996).
Terapi ALL dibagi menjadi:                                
·         Induksi remisi
Terapi ini biasanya terdiri dari prednisone, vinkristin, antrasiklin dan L-asparaginase.
·         Intensifikasi atau konsolidasi
Berbagai dosis mielosupresi dari obat yang berbeda diberikan tergantung protocol yang dipakai.
·         Profilaksis SSP
Terdiri dari kombinasi kemoterapi intratekal, radiasi cranial, dan pemberian sistemik obat yang mempunyai bioavailabilitas yang tinggi seperti metotreksat dosis tinggi dan sitarabin dosis tinggi.
·         Pemeliharaan jangka panjang
Terapi ini terdiri dari 6-merkaptopurin tiap hari dan metotreksat seminggu sekali selama 2 tahun (Fianza, 2007).







Daftar Pustaka

Bobak, K. Jensen, 2005, Perawatan Maternitas. Jakarta. EGC

Elly, Nurrachmah, 2001, Nutrisi dalam keperawatan, CV Sagung Seto, Jakarta.

Depkes RI. 2000. Keperawatan Dasar Ruangan Jakarta.

Engenderhealt. 2000. Infection Prevention, New York.

JHPIEGO, 2003. Panduan Pengajaran Asuhan Kebidanan, Buku 5 Asuhan Bayi Baru Lahir Jakarta. Pusdiknakes.

JNPK_KR.2004. Panduan Pencegahan Infeksi Untuk Fasilitas Pelayanan Kesehatan Dengan Sumber Daya Terbatas. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawiroharjo.

Johnson, Ruth, Taylor. 2005. Buku Ajar Praktek Kebidanan. Jakarta. EGC.

Kozier, Barbara, 2000, Fundamental of Nursing : Concepts, Prosess and Practice : Sixth edition, Menlo Park, Calofornia.

Potter, 2000, Perry Guide to Basic Skill and Prosedur Dasar, Edisi III, Alih bahasa Ester Monica, Penerbit buku kedokteran EGC.






PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
SISTEM IMUN DAN HEMATOLOGI
institusi

OLEH:
1.     SUPARMANTO
2.     NOVARIANI YUSAN
3.     ZULHAIRU
4.     YULIANA
5.     SUMBAWATI PUTRI MELATI
6.     RESTY MAYLIA DWI
7.     SUHAINI
8.     YETI SUHANA
9.     RANDY MULYA PUTRA
10.             BUDI SURAHMI
11.             LUSIANA


STIK MUHAMMADIYAH PONTIANAK
S1 REGULER KEPERAWATAN
TAHUN AKADEMIK 2010/2011


BAB 1
PENDAHULUAN

A.    Latar belakang

Dalam melakukan asuhan keperawatan dibutuhkan konsep pengkajian diagnostic. Pengkajian diagnostik dimulai dari hasil anamnesis riwayat kesehatan pasien dan pemeriksaan fisik. Riwayat kesehatan pasien harus mengandung informasi yang rinci mengenai factor-faktor dimasalalu serta sekarang dan berbagai kejadian yang menunjukkan status system imun dan hermatologi disamping factor-faktor dan kejadian yang dapat mempengaruhi fungsi system imun dan hermatologi.

B.     Masalah

Masalah yang kami angkat dalam makalah ini adalah membahas tentang pemeriksaan diagnostic system imun dan hermatologi.

C.     Tujuan

Adapun tujuan dari penyusunan makalah ini adalah agar pembaca dapat menjelaskan tentang pemeriksaan diagnostic system imun dan hermatologi.





BAB III
PEMBAHASAN

A.    Kesimpulan
Pemeriksaan diagnostik adalah penilaian klinis tentang respon individu, keluarga dan komunikan terhadap suatu masalah kesehatan dan proses kehidupan aktual maupun potensial. Hasil suatu pemeriksaan laboratorium sangat penting dalam membantu diagnosa, memantau perjalanan penyakit serta menentukan prognosa. Karena itu perlu diketahui faktor yang mempengaruhi hasil pemeriksaan laboratorium.
B.     Saran
Dengan adanya makalah ini diharapkan pembaca khususnya perawat dapat menerapkan pengkajian diagnostik ini dalama asuhan keperawatan dan dapat mencari referensi lain untuk menambah pengetahuan pembaca mengenai pengkajian diagnostic system imun dan hematologi.